Senin, 28 Maret 2011

Antisipasi Perilaku Makan Anak Sekolah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan gizi telah ditetapkan secara nasional dalam widyakarya nasional pangan dan gizi (1993) di Jakarta. Keluarga jarang menghitung berapa kalori atau berapa gram protein yang dikonsumsi oleh anggota keluarga. Namun demikian, orang tua dituntut untuk menyediakan makanan anak-anaknya dalam jumlah cukup dan memenuhi persyarayan gizi (Khomsan, 2004).

Budaya jajan menjadi bagian dari keseharian hamper semua kelompok usia dan kelas sosial, termasuk anak usia sekolah dan golongan remaja. Kandunan zat gizi pada makanan jajanan bervariasi, tergantung dari jenisnya yaitu sebagaimana kita ketahui makanan utama, makanan kecil (snack), maupun minuman. Besar kecilnya konsumsi makanan jajanan akan memberikan konstribusi (sumbangan) zat gizi bagi status gizi seseorang (Titi S, 2004).

1

Makanan jajanan seringkali lebih banyak mengandung unsur karbohidrat dan hanya sedikit mengandung protein, vitamin atau mineral. Karena ketidaklengkapan gizi dalam makanan jajanan, maka pada dasarnya makanan jajanan tidak dapat menggantikan sarapan pagi atau makan siang. Anak-anak yang banyak mengkonsumsi makanan jajanan perutnya akan merasa kenyang karena padatnya kalori yang masuk kedalam tubuhnya. Sementara gizi seperti protein, vitamin dan mineral masih sangat kurang (Khomsan, 2006).

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makan dan penggunaan zat gizi. makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh, sebaiknya bila makanan yang tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi essensial tertentu (Almatsier, 2001).

Hampir semua anak usia sekolah suka jajan (95%-96%) atau (91,1%), selain nilai gizi makanan jajanan yang relatif rendah, keamanan pangan makanan jajanan juga menjadi masalah. Hasil penelitian YLKI (Warta konsumen 2000) menyimpulkan bahwa persentase makanan jajanan anak SD yang dicampur dengan berbagai zat berbahaya masih sangat tinggi sebagai salah satu alternatif makanan bagi anak sekolah, nilai gizi dan nilai keamanan maka makanan jajanan masih perlu mendapat perhatian (Muhilal dkk, 2006).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Nova Scotia Fifth siswa yang banyak mengkonsumsi buah, sayuran, protein, fiber, dan segala makanan yang menyehatkan jarang ada yang gagal dalam ujian. Siswa sekolah yang makan teratur menunjukkan peningkatan kecerdasan yang lebih baik di sekolah (Hakiono, 2008).

Asupan gizi anak-anak SD di beberapa wilayah Indonesia sangat memprihatinkan. Padahal, asupan gizi yang baik setiap harinya di butuhkan supaya mereka memiliki pertumbuhan, kesehatan dan kemampuan intelektual yang lebih baik sehingga menjadi generasi penerus bangsa yang unggul. Dari penelitian terhadap 220 anak di 5 (lima) SD di Jakarta, asupan kalori anak-anak umumnya di bawah 100 persen dari kebutuhan mereka. Dari total anak yang di teliti, 94.5% mengonsumsikan kalori di bawah batas kecukupan, zat besi sebesar 91.8 persen dan seng sebanyak 98.6 persen di bawah kebutuhan yang seharusnya (Hakiono, 2008).

Konsumsi makanan merupakan salah satu faktor peneliti status gizi seseorang yang dapat berasal dari makanan utama dan makanan jajanan. Makanan jajanan berdampak positif terhadap penganekaragaman makanan dari kecil yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi. Makanan jajajnan memberika kontribusi terhadap tingkat kecukupan energi dan protein, namun tidak di temukan hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein serta antar kontribusi energi dan protein makanan jajanan dengan status gizi anak (Hakiono, 2008).

Makanan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan di masyarakat di perkirakan terus meningkat mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan adalah murah dan mudah di dapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat (Mudjajanto, 2005).

Makanan jajajnan di sekolah juga berperan meningkatkan perekonomian terutama dari sektor informal. Namun, banyak pedagang yang kurang menjaga kebersihan dan tidak mengetahui bahan-bahan yang bisa membahayakan kesehatan. Sehingga perlu adanya peningkatan pengawasan dengan teribat aktif dalam memperbaiki keamanan pangan melalui unit kesehatan sekolah salah satunya dengan cara menginventaris siapa saja pedagang jajanan yang berjualan di sekitar sekolah dan menanyakan bagaimana pengolahan jajanan tersebut (kompas, 2006).

Dari hasil survei sosial ekonomi nasional yang di lakukan oleh Badan Pusat Statistik (1999) menunjukkan bahwa persentase pengeluaran rata-rata perkapita perbulan penduduk perkota untuk makanan jajanan meningkatkan dari 9.19% pada tahun 1996 menjadi 11.37% pada tahun 1999. selain itu, kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi remaja perkotaan menyumbng 21% energi dan 16% protein. Sementara itu konstribusi makanan jajajnan terhadap konsumsi anak usia sekoalh menyumbang 5,5% energi dan 4,2 protein. Berdasarkan latar belakang diatas. Penulis tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan Kontribusi Energi dan Protein dari Makanan Jajanan dengan Status Gizi Anak SDN 30 Labui”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah

- Bagaimana kontribusi asupan energi dari makanan jajanan pada anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

- Bagaimana kontribusi asupan protein dari makanan jajanan di SDN 30 Labui Banda Aceh.

- Bagaimana status gizi anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

- Apakah ada hubungan asupan energi dari makanan jajanan dengan status gizi anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

- Apakah ada hubungan asupan protein dari makanan jajanan dengan status gizi anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan kontribusi energi dan protein dari makanan jajanan dengan status gizi anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

2. Tujuan khusus

- Untuk mengetahui kontribusi asupan energi dari makanan jajanan pada anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

- Untuk mengetahui kontribusi asupan protein dari makanan jajanan di SDN 30 Labui Banda Aceh.

- Untuk mengetahui status gizi anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

- Untuk mengetahui kandungan asupan energi dari makanan jajanan dengan status gizi anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

- Untuk mengetahui kandungan asupan protein dari makanan jajanan dengan status gizi anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan tentang hubungan kontribusi asupan energi dan protein dari makanan jajanan dengan status gizi.

2. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi dan gambaran tentang hubungan kontribusi asupan energi dan protein dari makanan jajanan dengan status gizi.

3. Bagi Institusi

Memberikan informasi dan gambaran tentang hubungan kontribusi asupan energi dan protein dari makanan jajanan dengan status gizi.

E. Keterbatasan Penelitian

Banyak faktor yang menyebabkan makanan jajanan layak konsumsi antara lain kandungan gizi, cara pengolahan, dan asupan dari makanan jajanan tersebut. Karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya maka peneliti hanya meneliti tentang, asupan energi, asupan protein, serta hubungannya dengan status gizi dari makanan jajanan di SDN Labui Banda Aceh.

F. Keaslian Penelitian

Menurut sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian tentang hubungan energi dan protein dari makanan dengan status gizi dari makanan jajanan, di lingkungan Jurusan Gizi.

Namun ada penelitian serupa yaitu :

1. Hubungan Kontribusi Zat Gizi Makanan Jajanan dengan Status Gizi pada Siswa SLTP Ibu Kartini Semarang (Titi Sari, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kontribusi zat Gizi (energi, protein dan lemak) makanan jajanan dengan status gizi pada siswa sltp Ibu Kartini Semarang.

2. Tinjauan Keamanan mikrobiologi Makanan Jajanan Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Ulee Kareng (Setia, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keamanan mikrobioogi makanan jajanan anak sekolah dasar di kecamatan Ulee Kareng. Desain pada penelitian ini bersifat eksperimen untuk melihat ada tidaknya mikroba dan total mikroba. Sampel penelitian ini adalah mie basah dan kue donat. SD yang ada di kecamatan Ulee Kareng berjumlah 9 SD yang diambil sampel mie basah dan kue donat sebanyak 8 sampel dan masing-masing produsen yang sama diambil sampel sebanyak 10 gram.

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Pengertian Makanan Jajanan

Makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang di persiapkan atau di jual oleh pedagang kaki lima di jalan dan tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung di makan atau dikonsumsi kemudian tanpa pengolahan atau di persiapkan lebih lanjut (Judarwanto, 2004).

Makanan yang di jual oleh pedagang kaki lima diminati selain karena cita rasa yang unit dan kepraktisannya juga karena dapat berperan dalam memperbaiki status gizi masyarakat. Karena kurangnya tingkat pendidikan pedagang kaki lima makanan jajanan dapat menjadi sumber resiko bagi kesehatan karena para pedagang kurang memahami makanan yang aman (Kompas, 2006).

Manfaat dari makanan jajanan adalah :

a. Suatu sumber makanan yang murah, praktis dan bergizi yang di konsumsi oleh orang ramai kalangan menengan ke bawah.

b. Suatu sumber makanan yang menarik dan beraneka ragam.

c. Sumber pendapatan utama bagi banyak orang

d. Kesempatan untuk berwiraswasta dan mengembangkan keahlian bisnis dengan modal investasi rendah.

Makanan merupakan sumber gizi melalui upaya sehari-hari diungkapkan mencukupi kebutuhan tubuh baik dari jumlah atau porsinya maupun mutu kandungan gizinya. Ketersediaan makanan di rumah merupakan langkah positif dalam mencapai makanan yang di ketahui jumlah dan mutunya. Namun dengan gerak kesibukan dan aktifitasnya kadang menuntut kita untuk mengkonsumsi makanan di luar rumah baik makanan utama maupun makanan jajanan (Khomsan, 2002).

Pada umumnya anak sekolah lebih suka mengkonsumsi makanan jajanan dibanding dengan jenis makanan seringan seperti bekas yang dibawa dari rumah. Makanan jajanan merupakan suatu sarana yang baik untuk menambah masuknya zat gizi bagi anak. Penjual makanan di sekitar sekolah menentukan perilaku makan murid sehari-hari dan perilaku tersebut terbentuk pada usia anak-anak kemudian berkembang pada usia selanjutnya (Aceh Nutrition, 2003).

Sebenarnya sudah banyak cara yang dilakukan pihak sekolah untuk mencegah jajanan sekolah berbahaya di beli oleh murid mereka. Salah satunya dengan menyediakan kantin khusus atau menutup pagar sekolah dan melarang penjual jajanan sekolah berjualan di depan sekolah. Tapi seperti yang di sebutkan diatas, anak-anak sekolah ini belum paham akan bahaya jajanan sekolah. Alasan satu-satunya karena harga yang murah sehingga uang saku dari orang tuanya bisa di pakai membeli bermacam makanan (Pujiandi, 1993).

B. Makanan Jajanan Anak Sekolah

Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa, kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Optimalisasi tumbuh dan kembang anak usia sekolah adalah menjadi prioritas utama, salah satu masalah yang sering dialami adalah kesulitan pemberian makan pada anak yang secara langsung menggangu tubuh kembang anak (Anita N, 2002).

Tumbuh dan perkembangannya anak usia sekolah yang optimal tergantung dari beberapa hal, diantaranya adalah pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas sesuai dengan kebutuhan. Dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi atau asupan makanan pada anak tidak selalu di laksanakan dengan faktor kesulitan makan pada anak (Anita, N, 2002).

Untuk memberikan makanan yang yang benar pada anak usia sekolah harus di lihat dari banyak aspek, seperti ekonomi, sosial, budaya, agama, di samping aspek medit dari anak itu sendiri. Makanan pada anak usia sekolah harus serasi, selaras dan seimbang (Kompas, 2006).

Makanan seorang anak harus mengandung protein, karbohidrat, air, mineral dan trace element. Energi yang metabolisme di hitung dalam kilo kalori (Kka), berasal dari protein (4 kka/gm), kerbohidrat (4 (kka/gm), dan lemak (9 kka/gm). Distribusi kalori pada makanan seimbang harus 7-15% berasal dari protein, 30-35& dari lemak, dan 40-50% dari karbohidrat. Energi makanan harus memenuhi kebutuhan basal metabolisme rote (BMR) (Depkes, 1990).

Pada umumnya anak-anak lebih menyukai jajanan di warung maupun kantin sekolah dari pada makanan yang tersedia di rumah. Kebiasaan jajan sebenarnya memiliki beberapa manfaat/keuntungan antara lain :

1. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan energi

2. Mengenalkan anak pada diversifikasi (keanekaragaman) jenis makanan.

3. Meningkatkan gengsi anak di mata teman-temannya

Namun, jajan yang terlalu sering dan menjadi kebiasaan akan berakibat negatif, antara lain :

a. Nafsu makan menurun

b. Makanan yang tidak higienis akan menimbulkan berbagai penyakit.

c. Salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak-anak.

d. Kurang gizi sebab kandungan gizi pada jajanan belum tentu terjamin.

e. Pemborosan

f. Permen yang menjadi kesukaan anak-anak bukanlah sumber energi yang baik sebab hanya mengandung karbohidrat. Terlalu sering makan permen dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan gigi.

C. Gizi Seimbang Anak Sekolah

Gizi seimbang adalah keadaan yang menjamin tubuh memperoleh makanan yang cukup mengandung semua zat gizi dalam jumlah yang di butuhkan. Khusus anak usia sekolah gizi seimbang di dapat dari protein 9-15%, karbohidrat 45-55%, dan lemak 35-45%. Dengan gizi seimbang yang diberikan pada anak di harapkan mampu mengoptimalkan tumbuh kembang anak (Sedioetama, 1987).

Kecukupan energi pada usia sekolah adalah 80-90% kka/kgBB/hari dan kecukupan protein adalah 1 g/kgBB/hari. Bila anak dengan BB 20 kg maka kecukupan energi sehari adalah 20 kg. Pada usia ini sering terjadi kecenderungan anak ketidak seimbangan gizi, terutama kalsium dan zat besi, terutama bagi anak yang jarang minum susu atau makan daging (Depkes, 1990).

Perilaku makan anak di luar sekolah harus di perhatikan dan di cermati. Pada umumnya kebiasaan yang sering menjadi masalah adalah kebiasaan maka di kantin atau warung di sekitar sekolah dan kebiasaan makan fast food (Winarno, 2002)

D. Bahaya Makan Jajanan

Pada umumnya kebiasaan yang sering menjadi masalah adalah kebiasaan makan di kantin atau warung di sekitar sekolah dan kebiasaan makan fast food. Makanan jajanan yang di jadi oleh pedagang kaki lima atau dalam bahasa Inggris disebut street food menurut FAO di definisikan sebagai makanan yang di persiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan tempat-tempat keramaian umum lainnya langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan dan persiapan lebih lanjut. Jajanan kaki lima dapat menjawab tantangan masyarakat terhadap makanan yang murah, mudah, menarik dan bervariasi. Anak-anak sekolah umumnya setiap hari menghabiskan ¼ waktunya di sekolah (Widodo, 2007).

Namun demikian keamanan makanan jajanan tersebut baik dan dari segi biologi maupun kimiawi masih di pertanyakan. Pada penelitian yang dilakukan di Bogor telah ditemukan Salmonella Paratyphi di 25%-50% sampel minuman yang dijual di kaki lima penelitian terhadap makanan jajanan anak sekolah juga dihilangkan oleh Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan (Badan POM), penelitian di lakukan sebagai upaya melindungi konsumen. Pada tahun 2006 Badan POM menguji makanan jajanan anak sekolah di 195 Sekolah Dasar di 18 provinsi. Diantaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar dan Padang. Jumlah makanan yang di sajikan sampel sebanyak 861 contoh. Dari hasil uji didapatkan, 39,95% atau 344 contoh tidak memenuhi syarat keamanan pangan, untuk es sirup atau buah sebesar 48,19% dan minuman ringan, 62,50% juga mengandung bahan berbahaya (Naiboho, 2005).

Kebanyakan pedagang kaki lima mempunyai pengetahuan yang rendah tentang penanganan pangan yang aman, mereka juga kurang mempunyai kepedulian terhadap air bersih serta fasilitas cuci dan buang sampah. Terjadinya penyakit bawaan makanan pada jajanan kaki lima dapat berupa kontaminasi baik dari bahan baku, penjamah makanan yang tidak sehat atau peralatan yang kurang bersih, juga waktu dan temperatur penyiapan yang tidak tepat (Judarwanto, 2004).

E. Upaya Perbaikan Makanan Jajanan

Upaya mengurangi paparan anak sekolah terhadap makanan jajanan yang terlihat sehat dan tidak aman perlu dilakukan usaha promosi keamanan pangan baik kepada pihak sekolah, guru, orangtua murid, serta pedagang. Materi kontaminasi tentang makanan pangan yang sudah pernah dilakukan oleh badan POM dan departemen kesehatan, dapat ditingkatkan pelaksanaannya sebagai alat bantu penyuluhan keamanan pangan ke sekolah-sekolah. Perlu diupayakan pemberian makanan ringan atau makan siang dilakukan di lingkunagn sekolah, persatuan orang tua murid untuk dapat menyajikan makanan ringan pada waktu keluar istirahat yang dapat di atur porsi dan nilai gizinya (Anita N, 2002).

Upaya ini ditentukan akan lebih murah dibandingkan anak jajan di luar sekolah yang tidak ada jaminan gizi dan kebersihannya. Dengan menyelenggarakan kegiatan makanan tambahan tersebut, diharapkan dapat mendapatkan keuntungan, misalnya : anak sudah ada jaminan makan makanan sekolah, sehingga orang tua tidak khawatir makanan yang dimakan anaknya di sekolah. Ibu yang selalu khawatir biasanya memberi bekal makanan pada anaknya. Kalau makanan yang baik dan bergizi tersedia di sekolah, akan meringankan tugas ibu (Anita N, 2002).

Maka badan POM akan bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional untuk meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan di sekolah. Akhir-akhir ini survey mengenai keamanan jajanan di ratusan SD itu dikirim ke Depdiknas. Pihak pengolah sekolah juga di harapkan terlibat aktif memperbaiki keamanan pangan melalui unit kesehatan sekolah. Salah satunya, dengan menginventarisasi siapa saja pedagang jajanan yang berjuang di sekitar sekolah dan menanyakan bagaimanan proses pengolahannya (Kompas, 2006).

F. Kebiasaan Makan Anak Sekolah

Usia sekolah anak-anak sudah mempunyai sifat konsumen aktif, yaitu mereka sudah bisa memilih makanan yang disukainya. Seorang ibu yang sudah menanamkan kebiasaan makan dengan gizi yang baik pada usia dini tentunya sangat mudah mengarahkan makanan anak, karena dia telah mengenai makanan yang baik pada usia dini tentunya sangat mudah mengarahkan makanan anak, karena dia telah mengenai makanan yang baik pada usia sebelumnya (Harian Aceh.com, 2009).

Program makan bersama di sekolah sangat baik dilaksanakan karena merupakan modal dasar bagi pengertian anak supaya anak mau diarahkan pada pola makan dengan gizi yang baik. Golongan usia SD usia 7-9 tahun dan 10-12 tahun bisa menentukan makanan yang di sukai karena mereka sudah mengenal lingkungan. Untuk itu perlu pengawasan dari orang tua supaya tidak salah memilih makanan karena pengaruh lingkungan. Disini anak masih dalam tahap pertumbuhan sehingga kebutuhan gizinya harus tetap seimbang. Banyak makanan yang di jual di pinggir jalan atau tempat umum hanya mengandung karbohidrat dan garam yang hanya akan membuat cepat kenyang dan banyak di sukai anak, sayangnya hal ini bisa menggangu nafsu makan anak jika hal ini di biarkan berlarut-larut akan dapaat menggangu amenghambat pertumbuhan tubuhnya (Pujiandi, 1993).

G. Status Gizi

Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi Anak Sekolah :

a. Asupan energi

Semakin tinggi tingkat aktifitas tubuh maka energi juga akan semakin banyak diperlukan, anak usia SD atau Usia sekolah merupakan usia yang senang bermain. Senang menghabiskan waktunya untuk belajar mengetahui lingkungan sekitar. Untuk itu perlunya nutrisi dan asupan energi yang banyak untuk menunjang aktifitas fisiknya.

b. Asupan Protein

Asupan protein ideal per hari untuk anak sekolah atau anak usia sekolah adalah 1,1 gram per kilogram berat badan. Kekurangan asupan protein bisa menyebabkan terjadinya kekurangan energi protein (KEP). Secara fisik, anak yang kekurangan protein bisa terlihat.

c. Tingkat konsumsi makanan

Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi (Sedioetama, 1996), lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi.

d. Pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan orang tua sangat erat kaitannya dengan baik atau tidaknya penyajian menu makanan pada anak karena hal ini sangat mempengaruhi pola berfikir dan perilaku hidup sehat keluarga tersebut dalam penyajian menu makanan dalam keluarga dan dalam memelihara kesehatan bila pendidikan rendah pengetahuan tentang cara hidup sehat, cara untuk menjaga kebersihan makanan dan minuman belum di pahami dengan baik (Suharjo, 1989).

Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi lebih memperhatikan nilai zat gizinya dalam memilih dan mengkonsumsi makanan pada saat hamil serta merawat dan menjaga kehamilannya dibandingkan dengan itu dengan pendidikan rendah. Dengan pendidikan yang tinggi mereka mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap kesehatan baik dalam mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi dan cukup kalori sehingga dapat menjaga kesehatannya pada saat hamil untuk menjaga kesehatan dirinya dan janin yang di kandungnya (Azwar, 2002).

e. Sosial budaya

Nilai sosial budaya ialah merupakan nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat bisa berbeda-beda menurut kebiasaan, bahkan mungkin bertentangan. Oleh karena itu, nilainya tidak mutlak biasa jadi nilai budaya di pegang erat, akhirnya sedikit demi sedikit luntur oleh kemajuan zaman dan perkembangan nilai budaya tersebut mutlak harus di patuhi dalam rangka menghormati adat. Apabila sosial budaya pada masyarakat tersebut baik maka dapat menunjang terhadap kesehatan dan mampu di pertahankan. Namun apabila sebaliknya kebudayaan yang sudah merupakan kebiasaan masyarakat yang sifatnya jelek atau buruk tentu sulit untuk di hilangkan (Depkes, 1998).

f. Pengetahuan gizi ibu

Pengetahuan gizi dan kesehatan didefinisikan sebagai apa saja yang diketahui berkenaan dengan masalah gizi dan kesehatan. Hal tersebut dapat diperoleh dari pengalaman orang lain, selain itu dapat juga diperoleh dari penyuluhan. Salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi adalah kurangnya pengetahuan ibu terhadap hubungan makanan dan kesehatan (Berg, 1986).

g. Pendapatan orang tua

Pada umumnya jika tingkat ekonomi naik, jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik juga. Akan tetapi mutu makanan tidak terlalu membaik jika diterapkan tanaman perdagangan. Tanaman perdagangan menggantikan produksi pangan rumah tangga dan pendapatan yang lain mungkin digunakan untuk membeli pangan atau bahan-bahan pangan berkualitas gizi tinggi dengan kata lain semakin baik tingkat pendapatan atau ekonomi suatu keluarga bahkan masyarakat, maka makin baik makanan yang dikonsumsi yaitu bernilai gizi tinggi (Almatsier, 2002).

H. Kontribusi Energi dan Zat Gizi dari Jajanan

Pentingnya mengkonsumsi makanan selingan selama di sekolah adalah
agar kadar gula tetap terkontrol baik, sehingga konsentrasi terhadap pelajaran dan
aktivitas lainnya dapat tetap dilaksanakan. Kandungan zat gizi makanan selingan
ditinjau dari besarnya kandungan energi dan protein sebesar 300 kkal dan 5 gram
protein. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan relatif cepat, terutama
penambahan tinggi badan. Mulai umur 10-12 tahun, kebutuhan gizi anak laki-laki
berbeda dengan anak perempuan.

Mengingat aktivitas fisik yang banyak dan tinggi selama di sekolah, wajar
kalau anak merasa lapar diantara dua waktu makan (pagi dan siang). Sebagai
pengganti sarapan pagi, anak jajan di sekolah untuk mengurangi rasa lapar.
Tetapi, mutu dan keseimbangan gizi jadi tidak seimbang. Dengan jajan, anak bisa
mengenal beragam makanan yang dijual di sekolah. Oleh karena itu jajan dapat
membantu seorang anak untuk membentuk selera makan yang beragam.
Pada saat dewasa nanti dia dapat menikmati aneka ragam makanan. Hal ini sangat baik dari segi gizi (Ali Khomsan, 2003).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari kebiasaan jajan. Seringkali
anak jadi beralasan tidak mau makan di rumah karena masih kenyang akibat jajan
di sekolah. Pada saat jajan, anak umumnya membeli makanan berat atau makanan kecil padat energi terbuat dari karbohidrat (tepung-tepungan), gorengan yang kaya lemak dan murah harganya. Makanan jenis ini tidak cukup menggantikan makan siang di rumah yang biasanya memperhatikan konsep 4 sehat (nasi, lauk, sayur, dan buah). Anak-anak tertarik dengan jajanan sekolah karena warnanya yang menarik, rasanya yang menggugah selera, dan harganya terjangkau. Makanan ringan, sirup, bakso, mi ayam dan sebagainya menjadi makanan jajanan sehari-hari di sekolah (Ali Khomsan, 2003).

Jajanan khususnya yang dijual di pinggir jalan, rentan terhadap polusi
debu maupun asap knalpot. Seringkali makanan tersebut tidak disiapkan secara
higienis atau juga mempergunakan bahan-bahan yang berbahaya seperti zat
pewarna karena alasan harganya murah. Makanan jajanan yang demikian cepat
atau lambat akan mendatangkan gangguan kesehatan (Ali Khomsan, 2003).

Salah satu yang perlu diwaspadai adalah permen. Permen adalah kesukaan setiap anak. Apalagi kini permen mempunyai aneka cita rasa maupun bentuk sehingga orang tua pun suka. Permen tidak memberikan kontribusi gizi yang berarti karena kandungan gizinya yang hampir nol, kecuali energi. Oleh karena itu, mengkonsumsi permen secara berlebihan dan menjadi pola makan hanya akan menambah masukan energi ke dalam tubuh tanpa memberi zat gizi (Ali Khomsan, 2003).

Minuman ringan (soft drink) umumnya hanya kaya kalori tetapi kandungan gizinya sangat rendah. Berbagai jenis keripik atau chips yang termasuk kedalam junk food umumnya disukai oleh anak-anak. Chips terbuat dari umbi-umbian (kentang) atau serealia (jagung) digoreng minyak dan ditambah garam dan penyedap rasa. Junk food yang kaya kalori dan rendah gizi ini biasa dimakan sebagai snack. Karena kandungan kalori yang tinggi, maka sering anak-anak yang baru makan chips menjadi tidak mau makan karena merasa masih kenyang. Dalam hal ini perlu disadari bahwa berapa bungkus pun chips yang dimakan tidak bisa menggantikan makanan lengkap yang tersaji di meja makan keluarga. Oleh karena itu orang tua harus mempunyai kiat kapan anaknya diizinkan untuk makan chips, yaitu sebaiknya sesudah makan (Ali Khomsan, 2003).

Sebagian besar makanan jajanan terbuat dari karbohidrat. Sehingga lebih tepat sebagai snack antar waktu makan, bukan sebagai pengganti makanan utama. Pada tabel 2.1 di bawah ini disajikan jenis makanan jajanan dan kandungan gizinya.

Tabel 2.1 Kandungan Gizi Berbagai Jenis Jajanan

No

Jajanan

Ukuran

Berat

(g)

Energi

(kalori)

Protein

(g)

1.

Bakwan

1 buah

40

100

1,7

2.

Bakso

1 porsi

250

100

10,3

3.

Chiki

1 bungkus

16

80

0.9

4.

Coklat

1 bungkus

16

472

2,0

5.

Es mambo

1 bungkus

25

152

0,0

6.

Gado-gado

1 porsi

150

203

6,7

7.

Klepon

4 buah

50

107

0,6

8.

Misro

1 buah

50

109

0,4

9.

Pisang goreng

1 buah

60

132

1,4

10.

Permen

1 buah

2

100

0,0

11.

Risoles

1 buah

40

134

2,1

12.

Siomai

1 porsi

170

95

4,4

Sumber : I Dewa Nyoman Supariasa, dkk (2001)

I. Pengaruh Jajanan Terhadap Status Gizi Anak Sekolah

Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima atau dalam bahasa Inggris disebut street food menurut FAO (1997) didefisinikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut (http://www.gizi.net).

Meningkatnya makanan jajanan di banyak negara termasuk di Indonesia adalah akibat peningkatan populasi penduduk, perubahan keadaan sosio ekonomi, peningkatan angka pengangguran, urbanisasi, dan turisme. Jajanan kaki lima dapat mejawab tantangan masyarakat terhadap makanan yang murah, mudah, menarik dan bervariasi. Dari sudut pandang ekonomi, jajanan kali lima ini dapat menjadi sumber pendapatan utama. Karenanya, Pedagang Kaki Lima (PKL) juga menjadi bagian penting dalam sistem suplai makanan. Anak-anak sekolah umumnya setiap hari menghabiskan ¼ waktunya di sekolah.

Sebuah penelitian di Jakarta dalam Maskar D.H (2004) baru-baru ini menemukan bahwa uang jajan anak sekolah rata-rata sekarang berkisar antara Rp 2000 – Rp 4000 per hari. Bahkan ada yang mencapai Rp 7000. Lebih jauh lagi, hanya sekitar 5% anak-anak tersebut membawa bekal dari rumah (http://www.gizi.net).

Karenanya mereka lebih terpapar pada makanan jajanan kaki lima dan mempunyai kemampuan untuk membeli makanan tersebut. Menariknya, makanan jajanan kaki lima menyumbang asupan energi bagi anak sekolah sebanyak 36%, protein 29% dan zat besi 52% (Guhardja, dkk, 1992). Karena itu dapat dipahami peran penting makanan jajanan kaki lima pada pertumbuhan dan prestasi belajar anak sekolah. Namun demikian, keamanan jajanan tersebut baik dari segi mikrobiologis maupun dari segi kimiawinya masih dipertanyakan (http://www.gizi.net).

Pada penelitian yang dilakukan Anita N. Mutu (2002) di Bogor telah ditemukan Salmonella Paratyphi A di 25% - 50% sampel minuman yang dijual di kaki lima. Bakteri ini mungkin berasal dari es batu yang tidak dimasak terlebih dahulu (http://www.gizi.net).

Selain cemaran mikrobiologis, cemaran kimiawi yang umum ditemukan pada makanan jajanan kaki lima adalah penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) ilegal seperti borax (pengempal yang mengandung logam berat Boron), formalin (pengawet yang digunakan untuk mayat), rhodamin B (pewarna merah pada tekstil), dan methanil yellow (pewarna kuning pada tekstil). Bahan-bahan ini dapat terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit seperti antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia. Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menimbulkan gelaja-gejala yang sangat umum seperti pusing dan mual. Karenanya Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari WHO yang mengatur dan mengevaluasi standar BTP melarang penggunaan bahan kimia tersebut pada makanan. Standar ini juga diadopsi oleh Badan POM dan Departemen Kesehatan RI melalui Peraturan Menkes no. 722/ Menkes/ Per/ IX/ 1998 (http://www.gizi.net).

Secara umum penyakit bawaan makanan (foodborne diseases) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di banyak negara. Karena penyakit ini dianggap bukan termasuk penyakit yang serius, maka seringkali kasus-kasusnya kurang terlaporkan. Padahal, gizi buruk dan gangguan pertumbuhan terutama bagi anak-anak adalah dua konsekuensi serius yang dapat ditimbulkan oleh berulangnya episode penyakit ini (http://www.gizi.net).

Maskar, D.H (2004) Diare merupakan gejala umum dari penyakit bawaan makanan yang mudah dikenali. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 menemukan bahwa diantara 100 000 balita terdapat 75 anak balita yang meninggal tiap tahunnya akibat diare. Lebih jauh tentang makanan jajanan kaki lima di sekolah, temuan baru di Jakarta Timur mengungkapkan bahwa jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak-anak sekolah adalah lontong, otak-otak, tahu goreng, mie bakso dengan saus, ketan uli, es sirop, dan cilok. Berdasarkan uji lab, pada otak-otak dan bakso ditemukan borax, tahu goreng dan mie kuning basah ditemukan formalin, dan es sirop merah positif mengandung rhodamin B. Wawancara dengan PKL menunjukkan bahwa mereka tidak tahu adanya BTP ilegal pada bahan baku jajanan yang mereka jual (http://www.gizi.net).

Selain itu BTP ilegal menjadi primadona bahan tambahan di jajanan kaki lima karena harganya murah, dapat memberikan penampilan makanan yang menarik (misalnya warnanya sangat cerah sehingga menarik perhatian anak-anak) dan mudah didapat. Lebih jauh lagi, kita ketahui bahwa makanan yang dijajakan oleh PKL umumnya tidak dipersiapkan dengan secara baik dan bersih. Tambahan lagi, kebanyakan PKL mempunyai pengetahuan yang rendah tentang penanganan pangan yang aman, mereka juga kurang mempunyai akses terhadap air bersih serta fasilitas cuci dan buang sampah. Terjadinya penyakit bawaan makanan pada jajanan kaki lima dapat berupa kontaminasi baik dari bahan baku, penjamah makanan yang tidak sehat, atau peralatan yang kurang bersih, juga waktu dan temperatur penyimpanan yang tidak tepat (http://www.gizi.net). Untuk mengurangi paparan anak sekolah terhadap makanan jajanan yang tidak sehat dan tidak aman, perlu dilakukan usaha promosi keamanan pangan baik kepada pihak sekolah, guru, orang tua, murid, serta pedagang. Secara sinambung, sekolah dan pemerintah perlu menggiatkan kembali UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Materi komunikasi tentang keamanan pangan yang sudah pernah diproduksi salah satunya oleh Badan POM dan Departemen Kesehatan dapat ditingkatkan penggunaannya sebagai alat bantu penyuluhan keamanan pangan di sekolah-sekolah (http://www.gizi.net).

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

A. Kerangka Teori

Asupan energi

Asupan protein

Tingkat konsumsi makanan

Sosial budaya

Status Gizi

Pendidikan orang tua

Pengetahuan gizi ibu

Pendapatan orang tua

Sumber: (Almatsier, 2002 ;

Gambar 2. Kerangka Teori Penelitian

B. Kerangka Konsep

Asupan energi

dari makanan jajanan

Status Gizi

Asupan protein

dari makanan jajanan

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

C. Defenisi Operasional

No

variabel

Definisi

Alat ukur

Cara ukur

Standar

Skala ukur

1.

Kontribusi asupan energi

Jumlah energi yang didapat dari makanan jajanan

Food recall

Wawancara

- Baik ≥

- Kurang

Ordinal

2.

Kontribusi asupan protein

Jumlah protein yang didapat dari makanan jajanan

Food recall

Wawancara

- Cukup 95-105 dibanding-kan dengan kebutuhan

- Kurang/ 85-94 dibandingkan dengan kebutuhan

Ordinal

3.

Status gizi

Keadaan tubuh anak sekolah yang disebabkan oleh asupan zat gizi dan energi yang dibutuhkan oleh tubuh diukur berdasarkan antropometri dengan indeks BB/TB

- Timbangan

- Microtoice

Antropometri

IMT

- Kurus (< 18,5)

- Normal (18,5-25,0)

Ordinal

D. Hipotesa Penelitian

- Ada hubungan kontribusi asupan energi dari makanan jajanan dengan status gizi pada anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

- Ada hubungan kontribusi asupan protein dari makanan jajanan dengan status gizi pada anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yang dilakukan dengan cara ”Crossectional”, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi makanan jajanan dari kontribusi asupan energi, dan asupan protein di SDN 30 Labui Banda Aceh.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan di SDN 30 Labui Banda Aceh, pada bulan Maret 2010.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah anak SD kelas IV, V dan VI di SDN 30 Labui yaitu sebanyak 71 anak SD.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian adalah sebagian anak SD yang terpilih di SDN 30 Labui Kecamatan Lueng Bata Kotamadya Banda Aceh, yaitu sebanyak 71 anak SD.

Pengambilan sampel dengan cara simple random sampling dan besarnya sampel dipilih dengan rumus (Soekidjo, 1993).

n =

Keterangan :

n = Banyaknya sampel

N = Populasi

d = Presisi

D. Jenis dan Cara Mengumpulkan Data

1. Jenis Data

a. Data primer

- Identitas responden yang terdiri dari nama, umur, jenis kelamin

- Data tentang kontribusi zat gizi dari makanan jajanan

- Data status gizi

b. Data sekunder meliputi populasi dan keadaan umum lokasi penelitian yang diperoleh dan kepala sekolah SDN 30 Labui.

2. Cara Pengumpulan Data

Data identitas sampel dikumpulkan dengan teknik wawancara kepada sampel. Data tentang jumlah asupan gizi, diperoleh dengan melakukan wawancara langsung sampel dengan menggunakan metode food recall 24 jam. Sedangkan data antropometri dilakukan dengan cara menimbang BB dengan menggunakan bathroom scale 0,5 kg dan tinggi badan menggunakan mikrotoa 0,1 cm.

F. Pengolahan Data

a. Editing, yaitu mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam pengisian atau pengolahan data.

b. Coding, yaitu data yang telah dikumpulkan diberi kode disusun secara berurutan dari responden pertama sampai dengan responden terakhir, selanjutnya dimasukkan ke dalam tabel.

c. Tabulating, yaitu penyajian data dalam bentuk distribusi frekuensi kemudian di tentukan rata-rata dari persentase.

- Data kontribusi energi dan protein

Data hasil recall makanan 24 jam dari sekolah dikumpulkan dengan menggunakan formulir recall makanan dan dihitung dengan menggunakan DKBM, selanjutnya dibandingkan dengan kebutuhan dan di kategorikan sebagai berikut :

- Tinggi = 106-115 % kebutuhan

- Cukup = 95-105% kebutuhan

- Kurang /rendah = 85-94% kebutuhan

Sedangkan untuk status gizi diolah dari data antripometri, yaitu BB, TB dan data tersebut di analisis niali z-score. Berdasarkan indeks BB/TB, kemudian dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu :

- > 2 SD = gemuk

- + 2 sampai dengan –2 SD = normal

- -3 sampai dengan –2 SD = kurus

- < -3 SD = sangat kurus

G. Analisa Data

a. Univariat

Analisa data deskriptif masing-masing variabel telah ditabulasi untuk melihat distribusi frekuensi tentang kontribusi energi dan protein dari makanan jajanan dengan status gizi anak SDN 30 Labui Banda Aceh.

b. Bivariat

Analisa bivariat untuk mengetahui distribusi data tabel silang antara variabel independen dan variabel dependen, selanjutnya akan diuji hipotesis dengan memakai analisa kai-kuadrat dengan program SPSS serie 12 for windows.

H. Penyajian Data

Untuk menjelaskan hasil penelitian tentang kontribusi energi dan protein dengan status gizi dari makanan jajanan di SDN 30 Labui Banda Aceh dan untuk memudahkan pembaca, penulis mengambil kesimpulan maka penyajian disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular.

1. Tekstular yaitu penyajian data dengan menggunakan teks atau narasi

2. Tabular yaitu penyajian data dengan menggunakan tabel.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita, 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama

Anita N. Mutu mikrobiologis minuman jajanan kantin di tiga sekolah wilayah Bogor. Institut Pertanian Bogor. 2002.

Azwar, Azrul, Ilmu kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta 2002.

Berg, A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. CV. Rajawali : Jakarta.

Depkes, RI, 1990. Aspek Gizi Makanan Jajanan. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Guhardja S, Madanijah S, Wulandari S, Natal NPS, and Akbar M. The role of street foods in the household food consumption: A survey in Bogor. Proceeding of the 4th ASEAN Food Conference 1992. IPB Press. 1992.

Hakiono. Makanan dan Kecerdasan Anak, http://www.indofamily.net, 2008.

http://www.bps.go.id. Ketersediaan Bahan Makanan Dan Pengeluaran Penduduk, 2008.

http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1097726693,98302.

Khomsan Ali, 2006. Solusi Makanan Sehat. Raja grafindo Persada ; Jakarta.

Komsan Ali, 2002. Pangan Dan Gizi Untuk Kesehatan, Raja Grafindo, Jakarta.

Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta, Rineka Cipta, 2000.

Seksi Gizi DINKES Provinsi NAD, 2003. Aceh Nutrition, Banda Aceh.

Sediaoetama, AD, 1991, Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Pofesi Jilid I, Dian Rakyat, Jakarta.

Suharjo, 1989. Sosial Budaya Gizi, IPB, Bogor

Winarno, FG. Peranan Positif Makanan Jajanan. Pusat pegembangan teknologi Pangan, IPB Bogor.

WHO. Foodborne disease: a focus for health education. World Health Organization, Geneva. 2000.

WHO/ICD/SEAMEO. Persyaratan utama keamanan makanan jajanan kaki lima. (Terjemahan). SEAMEO TROPMED RCCN UI. Jakarta. 1999.

4 komentar:

  1. teriamakasih banyak, sangat menarik sekali pembahasannya...

    http://cv-pengobatan.com/pengobatan-alami-limpa-bengkak/

    BalasHapus
  2. nggak bisa sembarangan memang kalau dah berbicara makanan untuk anak, jangan sampai salah biar mereka tidak terkena penyakit.

    BalasHapus
  3. agak sulit memang sekarang untuk mengawasi makanan anak di sekolahan, walau sudah dibawa bontot, tetap saja mereka kadang mau curi- curi kesempatan makanan di kantin sekolah, oleh karena itu kita sebagai orang tua perlu mendampingi kesehatan mereka dengan suplemen penjaga daya tahan tubuh.

    BalasHapus